musik


MusicPlaylistView Profile
Create a playlist at MixPod.com

Rabu, 04 April 2012

Makalah Globalisasi

BAB I
PENDAHULUAN
Budaya di setiap daerah tidaklah sama atau beragam dan yang akan kita bahas kali ini adalah mengenai budaya pertanian di beberapa pedesaan yang secara umum dapat menunjukkan bagaimana bentuk budaya pertanian di Negara Indonesia ditinjau dari berbagai segi termasuk beberapa masalah yang cukup sering terjadi.
Berdasarkan statistik sensus pertanian 1963, di Indonesia terdapat lebih dari 41.000 komunitas desa, di antaranya lebih dari 21.000 terdapat di Jawa. Ke-41.000 komunitas desa itu didiami oleh lebih dari 80 juta penduduk yaitu kurang lebih 80% dari total jumlah penduduk di masa itu.
Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar warga Negara Indonesia merupakan seorang petani walaupun dalam angka statistik ada kecenderungan menurun dari 71,9 % dalam tahun 1961 menjadi 63,2% dalam tahun 1971. Ke-41.000 komunitas desa tersebut dapat kita bagi dalam 2 golongan.(1) desa – desa yang berdasarkan cocok tanam di ladang dan (2) desa – desa yang berdasarkan cocok tanam di sawah.
Desa-desa golongan pertama terletak di sebagian besar pulau Sumatara, Kalimantan , Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Irian, dan Timor, dengan perkecualian beberapa daerah di Sumatra utara dan barat, daerah pantai Kalimantan, daerah Sulawesi Selatan serta Minahasa, dan beberapa daerah terbatas yang terpencar di Nusa tenggara dan Maluku.
Sedangkan contoh dari masalah dari dinamika masyarakat desa selalu menarik untuk  diamati paling tidak dengan sandaran asumsi bahwa dinamika kehidupan mereka tidak terlepas sama sekali dari dimensi konfliktual. Kecenderungan ini juga dialami oleh struktur masyarakat pedesaan yang mata pencahariaannya juga bertani. Betapapun semula sistem sosialnya dianggap homogen tetapi akibat perubahan sosial struktur petani Indonesia mengalami penggeseran situasi dan ekologis. 

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bercocok Tanam di Ladang
Teknologi bercocok tanam di ladang menyebabkan suatu komunitas desa berpindah-pindah yang sangat berbeda dengan komunitas desa menetap yang di dasarkan pada teknologi bercocok tanam di sawah. Teknologi bercocok tanam di ladang memerlukan tanah yang luas, disuatu daerah yang masih merupakan hutan rimba yang sedapat mungkin masih perawan.

Metode penanaman biji tanaman juga sangatlah sederhana, yaitu hanya dengan menggunakan tongkat tunggal berupa tongkat yang berujung runcing yang diberati dengan batu dekat pada ujungnya yang runcing itu. Dengan tongkat itulah para petani pria menusuk lubang kedalam tanah, dimana biji-biji tanaman di masukkan, pekerjaan yang di lakukan oleh wanita. Pekerjaan selanjutnya ialah membersihkan ladang dan tanaman liar, menjaganya terhadap serangan babi hutan, tikus, dan hama lainnya.
2.2 Bercocok Tanam di Jawa, Madura, dan Bali
Seorang petani di jawa, madura, atau di bali dalam kenyataan menggarap 3 macam tanah pertanian , yaitu : (1) Kebun kecil di sekeliling rumahnya ; (2) Tanah pertanian kering yang digarap dengan menetap, tetapi tanpa irigasi ; dan (3) Tanah pertanian basah yang di Irigasi yang diairi. 

Ditanah kebun kecil sekitar rumah, yang di Jawa Tengah dan Timur, dan juga di Bali di sebut pekarangan, seorang petani menanam kelapa, buah-buahan, sayur-sayuran, bumbu-bumbu, dll, yang diperlukannya dalam kehidupan rumah tngga sehari-hari.

Ditanah pertanian kering, yang di Jawa disebut tegalan, petani-petani menanam serangkaian tanaman yan kebanyakan di jual di pasar atau kepada tengkulak. Tanaman itu antara lain jagung, kacang kedelai, berbagai jenis kacang, tembakau, singkong, umbi-umbian tetapi juga padi yang dapat tumbuh tanpa irigasi. Walaupun tidak di irigasi, tanah tegalan di garap secara intensif, dan tanaman-tanamannya di pupuk secara teratur.

Bercocok tanam di tanah basah atau sawah itu, seperti tersebut diatas merupakan usaha tani yang paling pokok dan paling penting bagi para petani di Jawa dan Bali sejak beberapa abad lamanya. Dengan teknik  penggarapan tanah yang intensif dan dengan cara-cara pemupukan dan irigasi yang tradisional, para petani tersebut menanam tanaman tunggal, yaitu padi.

Berbeda dengan cocok tanam di ladang, maka cocok tanam di sawah dapat dilakukan di suatu bidang tanah yang terbatas secara terus menerus tanpa menghabiskan zat-zat hara yang terkandung didalamnya.
2.2.1 Tahap – Tahap Produksi  Bercocok Tanam di Sawah

Bercocok tanam di sawah sangat bergantung kepada pengaturan air, yang dilakukan dengan suatu sistem irigasi yang kompleks. Agar sawah dapat digenangi air maka permukaannya harus mendatar sama sekali, dan keliling oleh suatu pemantang yang tingginya 20 – 25cm.

Itulah sebabnya membuat sawah di lereng gunung memerlukan pembentukan susunan tenaga yang intensitas tenaganya tinggi. Namun di daerah dataran rendahpun bercocok tanam di sawah memerlukan banyak tenaga kerja ditahap produksi.

Rangkaian tahap – tahap produksi dalam hal bercocok tanam di sawah itu dimulai pada akhir musim kering, yang menurut teori jatuh pada bulan Oktiber atau November. Dalam kenyataannya banyak petani di jawa menentukan sendiri rangkaian tahap – tahap produksi tersebut, yang biasanya banyak di pengaruhi oleh cara –cara penghitungan tradisional. Seperti yang terdapat dalam buku – buku ilmu dukun yang disebut primbon.

Tiap lingkaran tahap – tahap pekerjaan bercocok tanam itu biasanya dimulai dengan memperbaiki bagian – bagian sistem irigasi pekerjaan ini dalah kusus pekerjaan laki – laki.

Langkah selanjutnya adlah membuka saluran air sehingga air dapat mengalir dari bagian sungai yang di bendung kesawah – sawah hingga merata. Pembagian air kesawah di desa –desa di daerah pegunungan di Jawa biasanya mudah, karena Air dengan mudah dapat mengalir dari sawah – sawah yang letaknya tinggi kesawah – sawah yang letaknya rendah.

Di bali soal – soal irigasi pembagian air, pertengkaran mengenai distribusi air irigasi dan sebagiannya di urus oleh suatu organisasi yang bernama subag. Organisasi ini tidak terikat sebagai bagian dari organisasi dari suatu perkampungan dibali, yang di sebut banjar, tetapi selalu terikat kepada suatu kompleks atau sistem bendungan tertentu.

Sawah di genangi air selama beberapa waktu,  yaitu antara 1 hingga 2 minggu. Sementara itu sudah disiapkan juga tempat – tempat untuk menyebarkan benih , untuk kedua kalinya sawah di olah dengan bajak dan cangkul serta dibiarkan lagi tererndam air selama beberapa hari.

Tanah yang sudah di olah untuk kedua kalinya, dan menggenangi air selama 1-2 minggu itu kemudian diratakan dengan garu, yang ditarik oleh kerbau atau sapi, tetapi sering kali juga oleh manusia setelah pekerjaan ini selesai, maka sawah siap untuk ditanami dengan tunas – tunas padi, Tunas-tunas padi yang sementara itu sudah di tumbuh di pesemaian.Pekerjaan menanam dikerjakan oleh wanita.

Mula – mula tunas muda dicabut dengan hati – hati dari pesemaian, lalu diikat menjadi beberapa ikatan yang dibagi-bagikan secara merata di tiap petak sawah selama tumbuh, para petani harus memelihara dan menjaga tanaman mereka dari berbagai  tumbuh-tumbuhan liar (matun) yang di lakukan oleh wanita dan apabila padi sudah mulai berbuah, serangan-serangan biasanya datang dari burung, tikus, serangga, dsb.

Berapa lamanya padi berbuah dan masak tergantung pada jenis padinya dan berbagai faktor lainnya. Sebelum panen, sering diadakan upacara selamatan yang di pimpin oleh seorang dukun. 3 atau 4 bulan setelah panen, sementara menunggu penanaman padi berikutnya, para petani menanam bermacam tanaman lain, seperti umbi-umbian, singkong, berbagai kacang, kedelai, jagung, juga padi gaga (yaitu padi kering), dll tanaman sekunder ini oleh orang jawa disebut Palawija.

2.2.2 Pengerahan Tenaga Pada Cocok Tanam di Sawah

Salah satu untuk mengerahkan tenaga tambahan untuk pekerjaan bercocok tanam secara tradisional dalam komunitas pedesaan adalah sistem bantu membantu yang di Indonesia dikenal dengan istilah Gotong Royong.

Di Indonesia dan khususnya di Jawa, aktivitas gotong royong biasanya tidak hanya menyangkut lapangan bercocok tanam saja tetapi juga menyangkut lapangan kehidupan sosial lainnya seperti :
1. Dalam hal kematian, sakit , atau kecelakaan, dimana keluarga yang sedang menderita itu mendapatkan pertolongan berupa tenaga dan benda dari tetangga – tetangganya dan orang – orang lain di desa
2. Dalam hal pekerjaan sekitar rumah tangga, misal memperbaiki atap rumah, mengganti dinding rumah, membersihkan rumah dari hama tikus dan sebagainnya, untuk mana pemilik rumah dapat meminta bantuan tetangga –  tetangganya yang dekat memberikan jamuan makanan.
3. Dalam hal pesta – pesta, misalnya dalam pesta pernikahan anaknya, bantuan tidak hanya dapat diminta dari kaum kerabatnya tapi juga dari tetanggnya.
4. Dalam mengadakan pekerjaan yang berguna untuk kepentingan umum dalam masyarakat desa, seperti memperbaiki jalan, jembatan, bendungan irigasi, bangunan umum, dsb.

Upah secara adat di bayar dengan sebagian dari hasil pertanian, dan jumlahnya tergantung keadaan. Upah berupa uang adlah suatu cara membayar buruh tani yang sudah lazim di seluruh Indonesia. Walaupun cara ini merupakan sistem yang relatif baru di Indonesia, di Jawa sudah dikenal sejak pertengahan abad ke-19 yang lalu.

Masa kini terutama dalam produksi bercocok tanam terjadi proses penggeseran dari proses pengerahan tenaga bantuan di luar rumah tangga dengan gotong royong kecara dengan menyewa buruh.

2.2.3 Fragmentasi Sawah di Jawa, Madura, dan Bali

Laju pertumbuhan penduduk yang sangat cepat itu terutama di Jawa memang merupakan sebab utama dari proses makin kecilnya usaha tani secara rata – rata menurut sensus pertanian 1963, tanah memiliki petani di Jawa dan Madura adalah rata – rata 0.7 H.

Tanah pertanbian berupa sawah atau tegalan yang sudah demikian kecilnya itu pada umumnya kemudian di pecah – pecah lebih lanjut menjadi bagian – bagian yang lebih kecil lagi.

Fragmentasi yang sifatnya ekstrim seperti itu terjadi karena petani pemiliknya membagi – bagi tanahnya untuk di garap oleh sejumlah petani lain dengan berbagai macam cara di antaranya ada cara yang paling tradisional yaitu ketiga adat berbagi hasil : Maro, Mertelu, dan Merpat.

Fragmentasi sekarang juga terjadi karena disamping membagi hasil bagian – bagian dari tanahnya kepada sejumlah petani lain, seorang petani pemilik sering kali juga menyewakan beberapa bagian dari tanahnya, sehingga dengan demikian ia tidak hanya menerima pendapatan berupa hasil bumi tetapi juga berupa uang tunai.

2.3 Mobilitas Komunitas Desa
2.3.1 Mata Pencaharian Petani di Luar Sektor Pertanian

Walaupun penduduk desa biasanya terlibat dalam sektor pertanian dalam tiap komunitas desa di seluruh Indonesia sudah jelas banyak terdapat sumber mata pencaharian yang lain. Penduduk desa pada umumnya juga terlibat dalam bermacam – macam pekerjaan di luar sektor pertanian, dan mengerjakan ke-2 sektor tersebut pada waktu bersamaan, sebagai pekerjaan primer dan sekunder.

Seorang petani yang memiliki sebidang tanah yang cukup luas yang juga memiliki sebuah warung yang dijaga oleh ibunya pada awal musim bercocok tanam, mungkin menerima penghasilan yang lebih banyak dari warungnya dari pada dari hasil kebun pekarangannya yang di jual istrinya di pasar desa.

Desa – desa di Jawa yang ada sepanjang jalan raya dekat pabrik – pabrik pusat Industri atau dekat kota – kota kecil atau besar, biasanya kurang lebih terpengaruh oleh gaya hidup kota. Banyak penduduk desa dengan lokasi tersebut memiliki atau berhasrat memiliki rumah gaya kota, lengkap dengan lantai tegel atau setidak – tidaknya lantai semen, jendela kaca, atap seng atau genting, dan perabotan kota lainnya.
2.3.2 Mobilitas Geografis

Pola – pola mata pencaharian dan aktivitas di luar sektor pertanian tersebut di atas tentu menyebabkan terjadinya suatu mobilitas geografikal yang sangat ekstensif dalam masyarakat pedesaan di Indonesia dan khususnya di Jawa.

Hal ini telah di lukiskan dalam sebuah laporan penelitian mengenai kehidupan komunitas – komunitas desa sekitar jakarta (Koentjaraningrat 1975), yang juga termuat dalam bagian III dari Buku Bunga Rampai.
2.4 Komunitas Desa dan Dunia Diluar Desa

Sepanjang masa sebagian besar komunitas desa di Indonesia, dari Aceh hingga Irian Jaya, telah di dominasi oleh suatu kekuasaan pusat tertentu banyak diantaranya telah mengalami dominasi itu sejak zaman kejayaan kerajaan – kerajaan tradisional ; banyak yang mengalaminya sejak jaman penjajahan Belanda atau Inggris, dan yang lainnya yang baru mengalaminya sejak beberapa waktu terakhir ini.

Walaupun demikian kesadaran akan adanya suatu dunia luas di luar komunitas desa sendiri perlu di analisa, lepas dari jangkauan hubungan dari para petani pedesaan dengan orang – orang atau kelompok – kelompok tertentu di dunia luar, sedangkan kesadaran tadi itu juga belum berarti bahwa para petani pedesaan itu juga mempunyai perhatian dan pengertian yang luas dari dunia luar.

Suatu yang sangat cocok untuk menganalisa perbedaan antara kesadaran dan pengertian dari para petani pedesaan mengenai dunia luar batas komunitas itu, serta ruang lingkup hubungan sosialnya disana, adalah konsep yang di kembangkan oleh ahli antropologi sosial. Yaitu J.A. Barnes mengenai “ Lapangan – Lapangan Sosial ” atau “Social Fields” (1954).

Menurut konsep itu, petani desapun dalam kehidupan sosialnya dapat bergerak dalam lapangan – lapangan sosial yang berbeda, menurut keadaannya yang berbeda – beda dan dalam waktu yang berbeda – beda. Karena itu banyak petani di Indonesia pada umumnya mempunyai hubungan sosial dalam lapangan hidup pertanian.

Usaha yang penting dari para perencana pembangunan masyarakat desa adalah untuk selalu menyediakan dan menciptakan adanya kepentingan – kepentingan lokal, yang dapat mengembangkan lapangan – lapangan sosial dengan ruang lingkup lokal. Dengan demikian kecenderungan orang – orang desa dapat terjaga
2.5 Konflik Pada Masyarakat Pertanian
    Dampak fenomona konflik yang tetap menonjol pada masyarakat petani di pedesaan adalah maslah yang berkaitan dengan tanah. Salah satu fenomena konflik yang terjadi di pedesaan di jenggawah, yang menjadi masalah Nasional dan menghiasi media masa pada 1995 dengan ciri kekerasan masa yang menyertainya.

2.5.1 Kerangka Terotorik
   
 Secara terotoris, Paige melihat berbagai kelompok yang memiliki peran cukup besar dalam pertumbuhan konflik di pedesaan. Kelompok – kelompok ini secara konsepsi adalah cultivator dan non-cultivator yang secara konvensional sebenarnya merupakan kelas sosial seperti, buruh tanah, pemegang usaha kecil, pemilik modal, dan kelas mengah desa.

    Konflik menurut versi Paige, munculnya dari kelompok cultivator dan non-cultivator. Munculnya konflik nerasal dari 2 kategori variabel yang menentukan timbulnya suatu konflik sosialyaitu tanah dan upah.

2.5.2 Struktut Sosial dan Asal Usul Konflik Tanah Jenggawah

    Jenggawah, sebagaimana desa – desa lain, memiliki struktur sosial yang masih agraris dalam perkembangan masyarakat seperti ini maka ciri menonjolnya adalah tradisionalisme.

Dalam masyarakat desa yang tradisional dan bersifat pertanian, maka perantara -  perantara menghubungkan antar personal di dalam masyarkat adalah (1) Bersifat pribadi (2) tak lengkap (3) bersalurak sedikit (4) Ditandai oleh lebih banyak komunikasi ke bawah ketimbang ke atas dan (5) Jarang di manfaatkan. Sementara pilihan – pilihan kekuasaan yang digunakan dala masyarakat pedesaan lebih menekankan aspek kewibaan tradisional dan kekerasan fisik.

Jika struktur dipahami sebagai tingkatan status sosial yang berbeda dalam masyarakat secara sosiologis, maka struktur sosial jenggawah di tempati oleh (1) Golongan struktur atas adalah kelompok orang – orang kaya, kyai, aparat desa, dan kaum terdidik yang memiliki jabatan terpandang, (2) Golongan menengah adalah para petani yang mampu mengelola tanahnya dengan baik, agak mandiri, atau kelompok pertanian agak cukupan, dan (3) Golongan bawah yaitu petani gurem, dan petani kekurangan yang cenderung menjadi klien abdi dari patron atas.

2.5.3 Pergolakan Petani Jenggawah 1969 sampai 1995

Perjalanan konflik tanah di jenggawah di mulai sebelum 1969. peristiwa yang mendahului adalah gagalnya pelaksanaan Land Perform atau orang desa (Petani) terus menyebutnya dengan pengkaplingan tanah, karena tanah yang luas di kapling – kapling menjadi 0.3 H untuk masing – masing bagian. Tetapi konflik yang bersumber dari Land Perform mereda. Kemudian konflik muncul kembali pada 1969 ketika akan diberlakukan SK mendagri no 32/HGU/DA/1969 kepada PPN XX VII yang dianggap gagal. Karena ketika itu (1968) tersebar berita akan dilakukan penggantian dirik / petok D menjadi sertifikat.

2.5.4 Tipologi kelompok – kelompok yang berkonflik

Berkaitan dengan konflik tanah yang muncul, pada beberapa pertanian yang dapat diajukan untuk lebih mendalami kompleksitas permasalahan petani jengggawah. Bagaimana tipologi kelompok – kelompok yang berkonflik ? Jika tipologi di pahami sebagai upaya menyederhanakan atas ruwetnya kelompok yang melibatkan dalam interaksi mengakibatkan konflik, bagaimana prilakunya, kelompok mana yang kuat, dan kelompok mana yang lemah ? apakah tipologi terhadap mereka yang terlibat dalam konflik bersifat homogen, jika mengacu pada tindakan mereka cenderung radikal ?

Menurut Paige tipologi konflik pertanian terjadi antara organisasi pertanian yang di sokong oleh kebijakan dan mereka yang berkedudukan sebagai pekerja ; terjadi antara kelas atas baru dalam pertanian  (Pemilik Modal) dan Petani lama yang menguasai tanah; juga antara masuknya tanah kedalam Commercial Enterpreneur dan petani menyewa yang dibatasi tenaga kerjanya baik yang sewaan maupun tetap.

2.5.5 Pola Penyelesaian Konflik

    Istilah penyelesaian konflik mengacu pada pendekatan manajemen konflik politik dan teori strukturalis semi otonom. Kedua paradigma ini melihat keterlibatan negara secara konkret sebagai penengah munculnya konflik yang terjadi di tengah masyarakat. Menurut pendekatan manajemen pendekatan konflik, penyelesaian konflik dianggap sebagai upaya pengelolaan konflik oleh negara.

    Negara memainkan peran dalam pengelolaan konflik yang terjadi di masyarakat sehingga dapat di transformasikan menjadi konsensus.sementara teori strukturalis semi otonom mempersepsikan negara sebagai  lembaga politik yang lebih ototnom. Negara lebih dianggap berperan sebagai penengah konflik antara berbagai kelompok kepentingan, sehinggga pembangunan oleh negara di pandang sebagai upaya menggalang sumber daya untuk menengahi konflik yang terjadi.

    Kontrol politik oleh negara orde baru (NOB) dan aparatnya, dilihat dari 2 kriteria yaitu (a) siapa yang melakukan intervensi / kontrol politik; dan (b) dalam bentuk apa interferensi dilakukan baik kepada petani, dan kelompok penekan, maupun tim mediasi.
2.5.6 Kesimpulan : Rakyat dan Kekuasaan

    Hubungan keserasian antara rakyat dan negara, dalam terminologi paradigma kultural jawa di cerminkan oleh konsep manunggaling kawulo gusti. Raja sebagai gusti dan rakyat sebagai kawulo – wong cilik dan abdi. Merupakan elemen sosial yang mereka kendalikan secara harmonis. Apa kunci harmonis itu ? dalam sejarah, dongeng rakyat melindungi raja atau sebaliknya sering kali menjadi cerita anak – anak negeri secara filosofi jawa, keharmonisan itu terjadi karena terjaganya lingkungan mikro dan makro lingkungan mikro sebagai indikasi kawulo sedangkan lingkungan karo sebagai gambaran raja.

    Tatanan yang di bangun berapa kali disebut dengan istilah hubungan kawulo gusti atau dalam terminologi teori modern di sebut hubungan patron-klien suatu pola hubungan yanng menunggal dan saling melindungi.

Tipologi konflik pertanian terjadi antara organisasi pertanian yang di sokong oleh kebijakan dan mereka yang berkedudukan sebagai pekerja ; terjadi antara kelas atas baru dalam pertanian  (Pemilik Modal) dan Petani lama yang menguasai tanah; juga antara masuknya tanah kedalam Commercial Enterpreneur dan petani menyewa yang dibatasi tenaga kerjanya baik yang sewaan maupun tetap.


BAB III
PEMBAHASAN
    Dari keseluruhan data diatas dapat kita simpulkan bahwa di Negara Indonesia sebagian besar penduduknya adalah petani yang pertaniannya dibagi menjadi beberapa jenis yaitu bercocok tanam di ladang dan di sawah. Dan dibeberapa daerah tertentu memiliki keunikan sendiri – sendiri.

    Untuk bercocok tanam di ladang dan dengan teknologi bercocok tanam di ladang menyebabkan suatu komunitas desa berpindah-pindah yang sangat berbeda dengan komunitas desa menetap yang di dasarkan pada teknologi bercocok tanam di sawah

Metode penanaman biji tanaman juga sangatlah sederhana, yaitu hanya dengan menggunakan tongkat tunggal berupa tongkat yang berujung runcing yang diberati dengan batu dekat pada ujungnya yang runcing itu

Sedangkan untuk bercocok tanam di sawah sangat bergantung kepada pengaturan air, yang dilakukan dengan suatu sistem irigasi yang kompleks. Agar sawah dapat digenangi air maka permukaannya harus mendatar sama sekali, dan keliling oleh suatu pemantang yang tingginya 20 – 25cm.

Itulah sebabnya membuat sawah di lereng gunung memerlukan pembentukan susunan tenaga yang intensitas tenaganya tinggi. Namun di daerah dataran rendahpun bercocok tanam di sawah memerlukan banyak tenaga kerja ditahap produksi.

Rangkaian tahap – tahap produksi dalam hal bercocok tanam di sawah itu dimulai pada akhir musim kering, yang menurut teori jatuh pada bulan Oktiber atau November. Dalam kenyataannya banyak petani di jawa menentukan sendiri rangkaian tahap – tahap produksi tersebut, yang biasanya banyak di pengaruhi oleh cara –cara penghitungan tradisional.

Sedangkan dibeberapa daerah seperti Jawa, Madura, dan Bali Seorang petani dalam kenyataan menggarap 3 macam tanah pertanian , yaitu : (1) Kebun kecil di sekeliling rumahnya ; (2) Tanah pertanian kering yang digarap dengan menetap, tetapi tanpa irigasi ; dan (3) Tanah pertanian basah yang di Irigasi yang diairi. 

Ditanah kebun kecil sekitar rumah, yang di Jawa Tengah dan Timur, dan juga di Bali di sebut pekarangan, seorang petani menanam kelapa, buah-buahan, sayur-sayuran, bumbu-bumbu, dll, yang diperlukannya dalam kehidupan rumah tngga sehari-hari.

Para petani selain bertani juga memiliki usaha yang lain, seorang petani yang memiliki sebidang tanah yang cukup luas yang juga memiliki sebuah warung yang dijaga oleh ibunya pada awal musim bercocok tanam, mungkin menerima penghasilan yang lebih banyak dari warungnya dari pada dari hasil kebun pekarangannya yang di jual istrinya di pasar desa.

Dan mereka juga berhubungan dalam suatu komunitas yang luas dan hal itu dapat kita pelajari dengan Suatu cara yang sangat cocok untuk menganalisa perbedaan antara kesadaran dan pengertian dari para petani pedesaan mengenai dunia luar batas komunitas itu, serta ruang lingkup hubungan sosialnya disana, adalah konsep yang di kembangkan oleh ahli antropologi sosial. Yaitu J.A. Barnes mengenai “ Lapangan – Lapangan Sosial ” atau “Social Fields” (1954).

Menurut konsep itu, petani desapun dalam kehidupan sosialnya dapat bergerak dalam lapangan – lapangan sosial yang berbeda, menurut keadaannya yang berbeda – beda dan dalam waktu yang berbeda – beda. Karena itu banyak petani di Indonesia pada umumnya mempunyai hubungan sosial dalam lapangan hidup pertanian

Petani juga memiliki beberapa masalah seperti yang terjadi di pedesaan di jenggawah, yang menjadi masalah Nasional dan menghiasi media masa pada 1995 dengan ciri kekerasan masa yang menyertainya. Perjalanan konflik tanah di jenggawah di mulai sebelum 1969. peristiwa yang mendahului adalah gagalnya pelaksanaan Land Perform atau orang desa (Petani) terus menyebutnya dengan pengkaplingan tanah, karena tanah yang luas di kapling – kapling menjadi 0.3 H untuk masing – masing bagian.

Tetapi konflik yang bersumber dari Land Perform mereda. Kemudian konflik muncul kembali pada 1969 ketika akan diberlakukan SK mendagri no 32/HGU/DA/1969 kepada PPN XX VII yang dianggap gagal. Karena ketika itu (1968) tersebar berita akan dilakukan penggantian dirik / petok D menjadi sertifikat.

Penyelesaian konflik mengacu pada pendekatan manajemen konflik politik dan teori strukturalis semi otonom. Negara memainkan peran dalam pengelolaan konflik yang terjadi di masyarakat sehingga dapat di transformasikan menjadi konsensus.sementara teori strukturalis semi otonom mempersepsikan negara sebagai  lembaga politik yang lebih ototnom.

 Negara lebih dianggap berperan sebagai penengah konflik antara berbagai kelompok kepentingan, sehinggga pembangunan oleh negara di pandang sebagai upaya menggalang sumber daya untuk menengahi konflik yang terjadi. Para petani yang juga rakyat memiliki hubungan yang unik mengikuti terminologi paradigma kultural jawa di cerminkan oleh konsep manunggaling kawulo gusti. Raja sebagai gusti dan rakyat sebagai kawulo – wong cilik dan abdi.

Dengan penyimbolan rakyat melindungi raja atau sebaliknya sering kali menjadi cerita anak – anak negeri secara filosofi jawa, keharmonisan itu terjadi karena terjaganya lingkungan mikro dan makro lingkungan mikro sebagai indikasi kawulo sedangkan lingkungan karo sebagai gambaran raja.


BAB IV
PENUTUP
 4.1 Kesimpulan

    Itulah sedikit mengenai gambaran dari bagaimana budaya para petani di Indonesia dilihat dari berbagai aspek ditinjau dari berbagai jenisnya terdiri dari pertanian di sawah dan di ladang serta menyatakan beberapa pertanian yang khusus di daerah Jawa, Madura, dan Bali. Serta beberapa konflik yang sering terjadi dan beberapa cara penyelesaiannya yang dapat dilakukan.

    Makalah ini tidaklah sempurna maka kami berharap akan kritik dan saran yang bersifat membangun dan kami berterimakasih atas rahmat tuhan karenanya makalah ini bisa selesai pada waktunya.

4.2 Saran
   
    Agar ketika sesi pertanyaan waktu untuk membahas pertanyaan lebih di perpanjang sehinggajawabannya lebih seru dan terkesan lebih hidup.
Daftar Pustaka
Anonymous a, http://www.wikipedia.org/budaya diakses tanggal
Anonymous b, http://www.young.com   diakses tanggal
Anonymous c, http://www.seputarilmunteknologi informasi.com  diakses tanggal
Anonymous d, Jurnal Masyarakat Pedesaan di Indonesia oleh Koentjaraningrat disadur
tanggal 
Anonymous e, Artikel Konflik Tanah di Jenggawah oleh Moch. Nurhasim disadur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar